Posts Tagged ‘upw smkn negeri 27 siap melayani perjalanan dengan’

Asal Kata Passer tours


Mengintip Kejayaan “Passer Baroe” di Masa Lampau

pasarbaroe

Pasar Sepatu

Pasar_Baru_1920aKejayaan “Passer Baroe” sudah diketahui di masa Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC) dulu. Daerah “Passer Baroe” dulu tidak hanya dikenal sebagai daerah elite karena berada tidak jauh dari kawasan Rijswijk (Jalan Veteran) yang dibangun pemerintah Kompeni Belanda untuk orang-orang kaya di Batavia. Ya, sekarang ini mirip kawasan Menteng atau Pondok Indah.

Di daerah pasar itu juga dikenal sejumlah tukang sepatu di masa Batavia dulu. Salah satu yang sangat terkenal bernama Sapie Ie. Pria keturunan Cina ini oleh pejabat-pejabat Kompeni Belanda dipercaya membuat bahkan memperbaiki sepatu dengan hak tinggi. Ya sepatu prajurit, ya sepatu untuk keperluan pesta. Namun Sapie Ie lebih dipercaya untuk membuat sepatu pesta. Soal ongkos, para pejabat Kompeni Belanda tidak dibuat pusing. Yang penting kualitas dijamin!


nn3

Pasar Baru 1898


Dalam buku bertajuk “Indrukken van een Totok, Indische type en schetsen”, secara gamblang dijelaskan peran tukang sepatu Sapie Ie di daerah “Passer Baroe”. Justus van Maurik, sang penulis buku tersebut, menceritakan bagaimana ia terpaksa harus berhubungan dengan Sapie Ie hanya karena harus mengenakan sepatu hak tinggi untuk memenuhi undangan sebuah pesta dansa di Gedung Harmonie. “Saya kaget ketika menerima surat undangan untuk menghadiri pesta dansa dari Gubernur Jenderal van der Wijck,” tulis Justus van Maurik dalam bukunya itu. Dalam undangan yang disampaikan langsung Gubernur Jenderal van der Wijck tersebut disebutkan bahwa pesta dansa dilakukan pada Minggu, 2 Agustus tepat pukul 21.00 malam. Justus pun bersiap diri.

Ia mulai menyiapkan pakaian yang terbaiknya hanya untuk menghormati surat undangan Gubernur Jenderal van der Wijck. Celana panjang, rompi dan jas warna hitam telah disiapkan. Namun sayangnya, sepatu yang dimilikinya ternyata tidak pas untuk sebuah pesta dansa, apalagi yang digelar Gubernur Jenderal van der Wijck. Oleh teman-temannya ia disindir habis karena sepatu bututnya itu. “Masa kamu mau hadiri pesta dansa pakai sepatu butut itu?” sindir rekan-rekan Justus.

Atas desakan salah seorang temannya yang sudah lebih dulu menetap di Kota Batavia, Justus disarankan untuk memesan sepatu lak ke tukang sepatu Sapie Ie di “Passer Baroe”. Dengan ramah Sapie Ie menerima pesanan sepatu lak Justus. Karena kakinya agak besar maka Sapie Ie meminta tambahan ongkos sebesar 50 sen.

nn4

Pasar Baru 1900


Uniknya, memesan sepatu dari Sapie Ie, si pemesan bisa menunggu. Sambil menunggu sepatu pesanannya selesai, Justus van Maurik jalan-jalan dulu mengitari daerah Rijswijk (kini Jalan Veteran). Lama memang, tapi yang penting bagi Justus bisa ikut pesta dansa. Dalam hitungan jam akhirnya sepatu hak pesanan itu selesai. Sayangnya, ketika dicoba ternyata agak sempit. Tapi kereta jemputan untuk mengikuti pesta sudah di depan mata, maka dengan jalan agak kesakitan Justus van Maurik melupakan rasa sakit kakinya itu.

Usai pesta Justus melepaskan sepatunya yang katanya sempit itu. Begitu dibuka di dalamnya ada bon utang. Di ujung sepatu lak kiri ada bon tagihan yang dilipat rapi. Ya, mungkin karena ketika itu Sapie Ie si tukang sepatu enggan menagih kekurangan pembayaran sepatu sehingga ia menaruh bon tagihan di dalam sepatu. Akibat ulah itu kaki Justus van Maurik bengkak. Keesokkan harinya ia mendatangi toko Sapie Ie dan membayar bon pembuatan sepatu lak itu.

Pasar_Baru_1901

Pasar Baru 1901


Lomba Perahu

Sungai Ciliwung yang melintas di “Passer Baroe” sering digunakan untuk lomba perahu. Orang menyebutnya Kali Passer Baroe waktu itu. Nah, di masa Kota Batavia dulu di tempat yang sama juga digelar lomba perahu untuk memperebutkan batang bambu berdaun yang diikat dengan sapu tangan, cita dan bahkan sebungkus kecil candu seharga 32 sen.

Lomba perahu di Ciliwung dilakukan dalam rangka pesta Peh Cun, sebuah perayaan etnis Cina di Kota Batavia. Semasa Batavia dulu memang daerah itu dikenal pula sebagai pusat perdagangan atau pasar. Di sana banyak bermukim orang-orang Cina yang tidak betah menetap di daerah Pecinan Glodok. Sebagian dari mereka memilih membuka toko di “Passer Baroe”.

Pasar_Baru_1910

Pasar Baru 1910


Tradisi pesta Peh Cun digelar tanggal 5 bulan 5 penanggalan Cina, para pedagang di pasar itu sejenak melupakan bisnisnya dan beramai-ramai berkumpul di sepanjang Ciliwung untuk menyaksikan penyelenggaraan Peh Cun. Puluhan perahu yang dihias di antaranya ada yang dihias dengan topeng kepala naga berlaga di Kali “Passer Baroe” itu. Semua orang tumpah ruah di sana (tak cuma etnis Cina) tapi juga penduduk di sekitar kali itu. Sorak-sorai bergema di sana apalagi begitu perahu-perahu itu berlomba untuk mendapatkan batang bambu berdaun yang diikat dengan sapu tangan. Dan juga ditaruh sebungkus kecil candu seharga 32 sen. Etnis Cina memang sudah sejak lama dikenal gemar candu. Makanya, tak heran jika di Kota Batavia dulu, pemerintah Kompeni Belanda mematok pajak candu bagi rumah-rumah candu.

Pasar_Baru_1915

Pasar Baru 1915


Pasar_Baru_1920

Pasar Baru 1920


Pasar_Baru_1935

Pasar Baru 1935


Pasar_Baru_1949

Pasar Baru 1949


Pasar_Baru_1955

Pasar Baru 1955


Dan sebagai pusat perbelanjaan tertua di Ibu Kota Jakarta. Pasar Baru memiliki agenda tahunan – saban ulang tahun Jakarta, 22 Juni – Pasar Baru ikut nimbrung dalam sebuah kemasan yang dinamakan “Festival Passer Baroe”. Sayangnya, “Passer Baroe” — begitu dulu dinamakan orang, kini dikenal sebagai Pasar Baru — perlahan-lahan mulai tampak kalah pamor menyusul menjamurnya pusat perbelanjaan modern seperti mal dan plaza yang menampung kerakusan belanja warga Jakarta.

Sadar bahwa Pasar Baru kini mulai ditinggalkan orang, lantas dikeluarkan wacana untuk menjadikan kawasan belanja yang dikenal tahun 1070-an itu menjadi tempat untuk kongkow-kongkow seperti Cilandak Town Square (Citos) di bilangan selatan Jakarta. Hah?! ;-(

Pasar_Baru_2001b

Pasar_Baru_2001

Pasar_Baru_2001a

Pasar Baru Tahun 2001-an


* Teks di adaptasi dari Surat Kabar Sinar Harapan, Senin 13 Juni 2005 dengan perubahan format

Batavia (Jakarta) merupakan sumber yang tak ada habis-habisnya untuk ditulis dan dikaji. Banyak kisah tercecer di Batavia yang belum diungkapkan. Terutama dalam kurun waktu tertentu. Kisah atau pengalaman yang menarik dan dapat dinikmati oleh khalayak
Banyak sudah orang yang menulis tentang Batavia (Jakarta).  Bisa jadi telah banyak ahli yang mengambil tema kota ‘buatan’ Belanda ini. Sayangnya, kebanyakan penulisnya adalah orang luar negeri. Sehingga memunculkan pertanyaan: mana penulis Indonesianya?
Batavia (Jakarta) memang menarik untuk diteliti. Kota di muara sungai Ciliwung yang awalnya adalah benteng VOC ini  memiliki sejarah panjang dan berbagai permasalahan pelik yang masih dirasakan hingga kini.
Kalau saja pada masa VOC, mereka tidak memerlukan tempat yang strategis untuk dijadikan benteng alternatif di Jawa selain di Ambon tentu lain ceritanya. Bahkan kalau saja de Heeren XVII di Belanda sana mengizinkan Jan Pieterszoon Coen menggunakan nama Nieuw Hoorn, kampung kelahirannya dan bukan Batavia lain juga ceritanya. Tapi dalam sejarah tidak mengenal ‘if history’ , ‘sejarah kalau’, jadi yang terjadi terjadilah.
Batavia (Jakarta) pun juga menjadi obyek catatan atau sumber kenangan bagi mereka yang telah merasakan ‘kehangatan’ de Koningin van den Oost (Ratu dari Timur) ini. Berbagai catatan para pengunjung dan penduduk ‘asli’nya sudah terdokumentasikan. Meskipun demikian masih perlu penelusuran dan penelitian lebih lanjut jika ingin mengetahui kesan-kesan mereka.
Contoh catatan pengunjung asing, seperti pedagang-petualang kelahiran Paris, Jean Baptiste Tavernier (1648), pendeta F. Valentijn (1726), nakhoda kapal Bounty Kapten William Blight (1800-an), Eliza R. Scidmore (1897), Justus van Maurik (1897), H.C.C Brousson (1900-an), Augusta de Wit (1905).  Tentu cara pandang mereka berbeda dengan penduduk ‘asli’nya yang memiliki sudut pandang lain dalam ‘melihat’ negeri mereka sendiri. Seperti misalnya kisah perjalanan priyayi Surakarta R. Aryo Sastrodarmo (1865) tertuang dalam Kawontenan Ing Nagari Betawi yang melukiskan suasana lebaran di Batavia.
Begitupula buku yang didiskusikan ini, Keadaan Jakarta Tempo Doeloe: Sebuah Kenangan 1882-1959 karya Tio Tek Hong.. Sebenarnya buku tersebutkan pernah diterbitkan pada 1959 dengan judul Kenang-kenangan: Riwajat-hidup saja dan keadaan di Djakarta dari tahun 1882 sampai sekarang. Selain itu cuplikan buku ini pernah juga dimuat dalam Batavia: Kisah Jakarta Tempo Doeloe (1988) terbitan Intisari. Mengacu judul di atas …sampai sekarang (tahun buku itu dicetak) maksudnya tahun 50-an ketika si penulis menjelang 83 tahun. Dalam kurun waktu hampir setengah abad buku ini dicetak kembali dan menghadirkan suasana Jakarta Tempo Doeloe.
Tio Tek Hong adalah seorang pria Tionghoa kelahiran Passer Baroe (Pasar Baru), Batavia pada 7 Januari 1877, daerah yang hingga kini dikenal sebagai daerah pertokoan. Ia juga pendiri sebuah toko pada 1902 yaitu N.V (Naamloze Vennotschap = sejenis Perseroan Terbatas) Tio Tek Hong yang didirikan bersama saudaranya. Toko mereka itu menjual berbagai macam barang dan yang pertama kali menjual barang dengan harga pas yang dicantumkan. Mereka pula yang merintis kebiasaan menutup toko setiap hari Minggu dan hari raya.
Toko Tio Tek Hong juga menjual gramofon impor serta piringan hitam. Menurutnya toko ini terkenal dari Sabang sampai Merauke karena mengedarkan piringan hitam lagu-lagu Melayu, keroncong dan Stambul.
Buku ini diawali dengan pengalaman penulisnya ketika anak-anak yang berlatar belakang meletusnya gunung Krakatau pada 1883 hingga masa uzur pada tahun 50-an. Serpihan pengalaman dan kenangan bergulir diceritakan Tio Tek Hong, meminjam istilah Iskandar P. Nugraha penulis kata pengantar buku ini, buku ini tak sekedar menyajikan gambar indah secara cepat dengan cara ‘methode sliding’ seperti presentasi powerpoints, namun tergesa-gesa tanpa menyisakan terbentuknya isi emosional pemilik pengalaman tersebut.
Secara spasial pengalaman penulis memang tidak hanya di Jakarta saja. Lihat misalnya pengalamannya ketika melihat Komet Halley di Bogor pada 1911 atau ketika melakukan perjalanan keliling Jawa pada 1905. Seperti yang diceritakan oleh Eliza R. Scidmore dalam Java the Garden of the East (1897) ketika hendak mengunjungi Yogyakarta, Tio Tek Hong yang dianggap Vreemde Oosterlingen (Timur Asing) pun memerlukan surat jalan untuk ke Yogya dan Solo. Tio Tek Hong terpaksa membayar denda 5 gulden karena surat jalan yang diberikan cuma surat jalan ke Surabaya.
Dari sudut pandang kajian turisme, pengalaman Tio Tek Hong ini saya masukkan dalam bagian turisme modern. Turisme pra-modern adalah istilah yang digunakan untuk membedakan dengan turisme modern. Turisme pra modern merupakan turisme sebelum abad ke-20 di Jawa. Pada masa itu yang biasa melakukan perjalanan adalah para pegawai, pendeta atau pedagang yang sebenarnya tidak bertujuan untuk wisata, seperti Rijklof van Goens utusan VOC yang mengunjungi Mataram pada 1648-1654, Tavernier pada 1648, Valentijn pada abad ke-18, Junghuhn ahli botani yang ditugaskan pada abad ke-19. Sedangkan istilah turisme modern dikaitkan dengan penggunaan buku panduan turisme, adanya kelompok-kelompok turis yang diatur untuk mengunjungi suatu tempat. Selain obyek/atraksi dalam turisme modern juga disediakan sarana akomodasi, transportasi dan jaminan keamanan.
Dalam buku ini, pengalaman Tio Tek Hong ketika melakukan perjalanan keliling Jawa dapat dijadikan contoh menarik untuk turisme modern tersebut. Kewajiban memiliki surat jalan, memanfaatkan trem Nederlandsch Indie Tramway Maatschappij, pengalaman terhadap hotel (Hotel Andreas di Cilacap hanya untuk orang Belanda dan Hotel Slamat untuk orang Indonesia atau lainnya). Atau penginapan-penginapan yang hanya untuk orang kulit putih. Demikian halnya kunjungan ke Candi Borobudur dan Gunung Merapi. Semua ini mengingatkan kita pada itenerario buatan pemerintah Hindia Belanda yang diperuntukkan bagi para turis.
Demikian pula dengan kenangan sajian tempat-tempat di Jakarta. Misalnya tempat ‘plesir’ di Pejongkoran (Petit Trouville) Tanjung Priok; Gereja Portugis tempat berdirinya dinding peringatan dengan hiasan tengkorak Pieter Erbervelt, seorang Indo yang dihukum lantaran dianggap memberontak pada kompeni; jembatan gantung tua di dekat Stadhuis (balaikota, sekarang Museum Jakarta); museum Oud Batavia (sekarang Museum Wayang); meriam keramat si Jagur; Pasar Gambir.
Buku ini mungkin dapat pula dijadikan ‘sumber’ sejarah, khususnya dalam upaya mendapatkan cara pandang ‘baru’ melihat Jakarta. Namun, yang harus diingat adalah sumber tersebut perlu dikritisi. Di sini suatu karya, misalnya kenang-kenangan ini sangat besar dipengaruhi oleh latar belakang seperti siapa penulisnya (umur, jabatan, gender, etnik, dan lain-lain).  Selanjutnya apa motivasi mereka menuliskan itu. Serta kedekatan mereka dengan obyek yang ditulis (di sini:Jakarta/Batavia). Dengan demikian sejarawan diharapkan melatih dirinya untuk dapat membaca apa yang dipikirkan oleh penulisnya. Tidak sekedar membaca produk yang dihasilkan (baca:kisah kenang-kenangan) melalui rangkaian naratifnya. Untuk itu diperlukan metode bantu untuk memahami karya –karya tersebut sebagai bentuk representasi.
Membaca buku ini seperti mendengar cerita kakek kita yang penuh kenangan dan nostalgia. Pengalaman yang mungkin tak pernah sempat dirasakan oleh generasi sekarang, seperti mandi di kali, bermain gundu, berburu di hutan (ada hutan di Jakarta sekarang?), menikmati transportasi tramway (sekarang busway?), bola lampu pertama, pabrik es pertama merupakan pengalaman yang hanya bisa diceritakan. Kecuali misalnya pengalaman penulis mengisap candu dan menyesap arak yang oleh anak-anak sekarang ini mungkin lebih canggih lagi (baca: narkoba). Hal yang menarik adalah nasehat rahasia umur panjang dari Tio Tek Hong yang dalam usia lanjut masih tegak, rambut tebal dan berpikiran jernih. Rahasianya mudah yaitu bangun pagi, minum air putih, tidak merokok, berolahraga rutin serta banyak makan sayur dan buah-buahan. Nasehat emas yang berharga bagi kita sambil menikmati buku ini.